Bayu merupakan bagian dari wilayah Blambangan yang sekarang masuk
dalam daerah administratif Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi.
Sebuah kawasan hutan sekitar 20 km arah barat daya kota Banyuwangi.
Peperangan tersebut dikobarkan dan dipimpin oleh seorang tokoh yang
bernama Mas Rempek yang gugur di medan tempur.
Peranan tokoh Mas Rempek dalam perang ini sangat penting. Bersama
para pengikutnya dan pendukungnya ia mampu memobilisir dan menumbuhkan
jiwa patriotik dan nasionalisme seluruh lapisan rakyat Blambangan.
Selain itu, faktor sosial politik dan ekonomi sebagai akibat tindakan
yang ditempuh VOC merupakan faktor penyebab pecahnya peperangan ini.
Sebagaimana dikemukakan Neil J. Smelser yang mengemukakan bahwa salah
satu faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku kolektif ialah adanya
ketegangan sosial yang disebabkan karena adanya transformasi politik,
sosial ekonomi dan kultural. Situasi tegang itu akhirnya dibuat bermakna
oleh “aktor” atau tokoh gerakan.[1]
A. Latar Belakang Terjadinya Perang Bayu
Pada tahun 1743 secara sepihak terjadi perjanjian antara Paku Buwana
dengan Gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta yang isinya Paku Buwana
melepaskan “haknya” di Jawa sebelah timur dari Pasuruan, yang sebenarnya
Belanda sendiri menyadari bahwa yang merasa melepaskan haknya itu
sebenarnya tak pernah berkuasa secara sungguh-sungguh atas daerah
tersebut dan penguasa daerah itu menolak untuk tunduk patuh.[2]
Berdasarkan perjanjian ini berarti Blambangan telah menjadi wilayah
kekuasaan Belanda. Sementara di Blambangan, Mengwi telah mengambil alih
kekuasaan dengan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba
sebagai penguasa.
Orang Inggris yang sejak lama melakukan perdagangan di Ulupampang
mengadakan kerja sama dengan Mengwi dengan konsesi memberikan ijin
kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang menjadi
daerah perdagangan yang sibuk. Agresifitas perdagangan Inggris di
Blambangan akhirnya mencemaskan VOC, ditambah keamanan yang kacau di
jalur tepi laut Jawa yang menjadi jalan utama perdagangan VOC, mendorong
Johanes Vos, gubernur VOC di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12
Agustus 1766 agar mengadakan patroli di Selat Bali dan sekitarnya.
Pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal
Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai serta mengambil
tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang dianggap
miliknya.[3]
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC
mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn
Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruhan,
25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Pebruari
1767, ekspedisi Belanda berkumpul di pelabuhan Kuanyar Madura. Pada
tanggal 27 Pebruari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada
tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn
Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767
ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar
Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di
Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.[4]
Mas Anom dan Mas Weka memperoleh kesempatan memberontak terhadap
penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom
memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di
Blambangan secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat.
Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan
penyerangan terhadap orang-orang Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom
dan Mas Weka di Logenta yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta
Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang.
Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan puputan dan
akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh. Mas Anom dan
Mas Weka diangkat menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan. Namun
tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong Agung Wilis.
Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di
Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei
1768.[5]
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Suta Nagara dengan patih
Sura Teruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai regen.
Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati “dwitunggal” itu diajak
memeluk agama Islam. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa
terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa
yang dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa
dirampas oleh orang-orang asing. Mereka memang anti Jawa, ingatan
tentang pengrusakan atas negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan
atas mereka dan atas pengiriman-pengiriman orang-orang Blamba-ngan oleh
raja-raja Jawa, masih dalam ingatan mereka yang membeku menjadi rasa
benci.[6] Sikap ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang
Blambangan menolak keras pengangkatan Kertawijaya, patih Surabaya
menjadi bupati Blambangan.
Mayor Colmond menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi
pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang
berwatak keras. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk
menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara
sosial maupun ekonomi. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke
pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil
panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya. Dan apabila tidak
dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Kemudian dia menyuruh rakyat
menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen,
jerih payah penduduk itupun disita lagi.[7] Selain itu Colmond menekan
penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di
Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan,
membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di
Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di
Gunung Ikan (yaitu jazirah yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia
tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan
kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Kelaparan, serba kekurangan,
penyakit, jumlah kematian yang tinggi, pelarian ke hutan adalah akibat
dari tindakan-tindakan tersebut.[8] Keadaan inilah yang menyebabkan
bupati Suta Nagara dan Wangsengsari serta Patih Sura Teruna mengajak
Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan
terjadi, ketiga orang tersebut dibuang ke Ceylon (Srilangka).[9]
Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya
setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC
menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan
setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk
pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan
makan.[10]
Tindakan Belanda tersebut menyebabkan munculnya kebencian di
mana-mana. Rakyat dalam keadaan sengsara dan kekurangan. Belanda
melakukan segala hal untuk tindakan penjajahannya baik secara ekonomi,
sosial maupun politik. Termasuk tindakan yang diambil kepada Suta Negara
dan Wangsengsari dan Sura Teruna.
Kedudukan Belanda yang kuat, kemudian membentuk pemerintahan baru di
Blambangan dengan bupati Jaksanegara bekas patihnya Wangsengsari,
satu-satunya orang yang masih setia kepada Kompeni. Tetapi pengangkatan
Jaksanegara ini tidak disukai oleh Gubernur Vos yang menginginkan bupati
di Blambangan harus orang yang cakap dan berpengalaman. Blambangan yang
merupakan daerah konflik, memerlukan bupati yang mampu mengendalikan
rakyat. Maka ditunjuklah Kertawijaya dari Surabaya sebagai bupati di
Blambangan.. Namun tidak lama kemudian pergolakan muncul, karena rakyat
Blambangan bersikap keras untuk tidak menerima seorang Jawa sebagai
bupatinya. Setelah kejadian itu Jaksanegara tetap menjadi bupati tunggal
di Blambangan. Ternyata pengangkatan Jaksanegara inipun tidak memuaskan
rakyat. Rakyat tidak menyukai pemimpin yang takluk kepada Kompeni.
Rakyat menuntut agar Suta Nagara yang dibuang dipulangkan kembali.[11]
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk
menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu
adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung
sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang
Belanda di bawah pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru atau
ajar yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat. Rakyat yang miskin yang
tak punya harapan-harapan lagi, bersatu dalam tekad yang besar melawan
Belanda.
B. Pangeran Jagapati Sebagai Sosok Pemimpin Anti Belanda
Karena berbagai peristiwa dan keadaan yang dialami masyarakat itulah
Mas Rempek, memutuskan untuk menyingkir ke Bayu. Di Bayu ia memperdalam
agama kepada Bapa Rapa. Kemudian ia menyusun kekuatan untuk menyerang
dan mengusir VOC Belanda dari Blambangan.[12]
Mas Rempek adalah sosok anti Belanda yang keras. Ia adalah putra Mas
Bagus Dalem Wiraguna atau Mas Bagus Puri dari isteri selirnya orang
Pakis. Mas Bagus Puri adalah putra Mas Dalem Wiraguna anak Susuhunan
Tawang Alun dari jalur selir. Mas Bagus Puri mempunyai putra-putri: Mas
Suratman, Mas Alit, Mas Talib, Mas Ayu Nawangsari, Mas Ayu Rahinten, Mas
Ayu Patih, dan dari isteri selir: Mas Rempek.[13] Jadi Mas Rempek
adalah keturunan Tawang Alun murni dari jalur selir. Karena ia anak dari
jalur selir, maka kehidupannya tidak seperti saudara-saudaranya yang
lain. Mas Rempek tidak hidup di lingkungan kadipaten. Ia hidup di
kalangan masyarakat biasa di luar kadipaten di Pakis selatan Banyuwangi.
Maka ketika Mas Bagus Dalem Wiraguna dan anak-anaknya bersama
Danuningrat dibawa ke Mengwi (dan akhirnya hampir semuanya terbunuh) Mas
Rempek tidak ikut dibawa ke Bali. Karena ia dianggap tidak penting
sebagai anak Mas Bagus Dalem Wiraguna.
Agaknya, karena ia sebagai anak dari selir, menyebabkan kehidupannya
berbeda dengan saudara-saudaranya. Tercatat dalam sejarah, tokoh-tokoh
dari keturunan selir cenderung memiliki sikap memberontak. Ini bisa
dimengerti, karena dalam dirinya ada semacam keinginan untuk menunjukkan
keberadaannya untuk dihargai dan diakui. Bisa dimengerti pula misalnya,
apabila sikap pemberontakannya itu juga ditujukan kepada
saudara-saudaranya.
Di sisi lain sebagai anak seorang selir, ia memiliki kehidupan yang
lebih bebas, yang memberinya kesempatan untuk menempa dirinya lebih
keras tanpa proteksi dan pemanjaan kebangsawanan. Ia memiliki kesempatan
yang luas bergaul dengan masyarakatnya, mengetahui penderitaan dan
persoalan masyarakatnya dengan dasar pandang kesadaran jalur keturunan
ningratnya.
Sebagai seorang biasa Mas Rempek bekerja sebagai abdi di rumah
seseorang yang bernama Bapa Samila, orang yang mempunyai hubungan dekat
dengan Jaksanegara, bupati tunjukan Belanda.[14] Karena ia bekerja
sebagai abdi yang kesehariannya penuh kerja kasar dan keras, maka bisa
digambarkan bahwa Mas Rempek memiliki tubuh yang kuat.
Karena ia orang biasa yang hidup bersama masyarakat, maka jiwanyapun
tertempa oleh keadaan di sekitarnya, masyarakat Blambangan yang
sengsara. Mas Rempek mengetahui hal-hal yang terjadi di masyarakat,
patroli-patroli VOC ke pelosok Blambangan, penyitaan beras dan bahan
makanan lainnya, pembakaran-pembakaran bahan makanan yang tidak dapat
diangkut. Kesengsaraan rakyat yang disuruh dengan paksa menanami
sawah-sawah, namun setelah panen, semuanya disita lagi. Selain itu dia
juga melihat rakyat kerja paksa tanpa makanan. Penduduk banyak yang
meninggal dan lari ke hutan. Melihat semuanya itu maka, jiwanya menjadi
sensitif terhadap semua bentuk kesengsaraan, penindasan dan
kesewenang-wenangan.
Sejak remaja Mas Rempek telah tertempa dalam peperangan dan perlawanan
terhadap VOC. Ia adalah pengikut dan kader binaan Wong Agung Wilis.
Kedekatannya dengan Wong Agung Wilis menjadikan ia sangat anti Belanda.
Wataknya sangat keras dan kukuh pada pendiriannya. Saat Suta Nagara dan
Wangsengsari bersedia diangkat menjadi bupati, ia memprotes sikap
kooperatif tersebut. Karena ia pemberani, sikap protesnya itu ia
wujudkan dalam bentuk perlawanan secara terbuka. Ia membunuh seorang
mantri pemimpin kota dan lima orang tamtama karena dianggap anteknya
Belanda. Suta Nagara, bupati baru, dalam suatu peristiwa ia lukai karena
didorong oleh sikap anti Belanda yang keras. Ia juga terlibat dalam
suatu gerombolan yang melabrak Letnan Biesheuvel dan para pengawalnya,
yang menyebabkan meninggalnya beberapa anggota gerombolan, namun
beberapa tamtama pasukan Biesheuvel malah bergabung dengan Mas
Rempek.[15]
Mas Rempek ikut berperang bersama Wong Agung Wilis melawan VOC pada
tahun 1768. Ia adalah mantri muka Wong Agung Wilis. Maka ia menjadi
orang pertama dalam peperangan-peperangan jaman Wong Agung Wilis, baik
waktu penyerangan benteng Banyualit, pertempuran di Ulupampang maupun
perlawanan mempertahankan Lateng. Setelah Wong Agung Wilis tertangkap,
perjuangan melawan VOC terus ia lanjutkan. Pengangkatan Jaksanegara
dianggap hanya menjadi alat VOC dan karenanya Mas Rempek tidak
membedakannya dengan VOC. Kekecewaannya terhadap penangkapan dan
pembuangan Wong Agung Wilis, pengalaman terdesak dan kalah dalam perang
serta kejengkelannya terhadap VOC yang sedemikian kuat, mendorongnya
pergi ke Bayu. Kepergiannya ke Bayu diperkirakan setelah tanggal 18 Mei
1768, sebab pada waktu Wong Agung Wilis tertangkap para jagabela dan
orang-orang dekat Wong Agung Wilis menyingkir ke Bayu. Mas Rempek datang
ke Bayu bersama seorang lurah dari Kuta Lateng.[16]
Demikianlah, setelah menetap di Bayu dan didukung oleh para ajar,
sosok Mas Rempek menjadi kepercayaan rakyat. Dengan didukung oleh Bapa
Rapa, Mas Rempek mengatakan bahwa dalam dirinya bersemayam roh Wong
Agung Wilis.[17] Kemasukan roh di sini dapat dimaknai bahwa terdapat
kesamaan ide dan perjuangan antara kedua tokoh itu. Dengan cara ini Mas
Rempek berusaha menarik rakyat Blambangan ke pihaknya. Pada waktu itu
Mas Rempek berjanji akan membebaskan wadwa alit dari semua penyerahan
wajib yang dilakukan VOC. Selain itu Mas Rempek berjanji melanjutkan
perjuangan Wong Agung Wilis. Maka itulah untuk mendapat legitimasi Mas
Rempek menyatakan dirinya kemasukan roh Pangeran Wilis sehingga bentuk
pakaian dan tindakannya menyerupai Wong Agung Wilis.[18]
Ketika menyadari bahwa kekuatan senjata yang dimiliki masih terbatas,
hanya mempunyai senjata yang sedikit, yakni tombak, lembing, keris
serta pedang, sedangkan senapan dan meriam yang dibanggakan waktu itu
telah jatuh ke tangan VOC waktu perang Ulupampang, Banyalit dan Lateng,
sedang orang Cina dan Bugis yang dulunya bersedia memberikan senjata
juga sudah ditangkap pada waktu Ulupampang jatuh, maka dengan cerdik
untuk menambah moral dan kepercayaan rakyat, Mas Rempeg berkata kepada
pengikutnya bahwa Gusti Allah akan menganugerahkan meriam kepadanya.[19]
Jelas sandaran dalam bentuk kepercayaan agama sangat penting dan
dimanfaatkan dengan efektif oleh Mas Rempek pada saat-saat genting dalam
peperangan.
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain di
seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung
dengan Mas Rempek di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil
wadwa alit, namun juga datang dari para bekel agung yaitu pembantu
regen yang berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan
Jagakrasa, serta Lembu Giri dari Tomogoro selain menyatakan bergabung
dengan Mas Rempek juga memberikan sejumlah senjata. Datang juga
rombongan orang-orang Lateng di bawah pimpinan lurah Manowadi dan Bapa
Cele dari Grajagan di pesisir selatan.[20]
Dukungan untuk Mas Rempek juga datang dari para bekel dari 62 desa;
25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah
timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel
dari desa lainnya.[21]
Dengan dukungan tersebut Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang
berbahaya. Bayu dibuatnya semacam satu negara, tidak kurang 2000 orang
berada di belakang Mas Rempek. Dibangun benteng yang sangat kuat, di
depan terdapat pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar yang
bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat
rapat satu sama lain yang disebut palisada. Di belakang pagar terdapat
lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Di dalam benteng, cadangan
pangan sangat melimpah serta dilengkapi dengan gamelan beserta pemainnya
sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan. Perlengkapan perang sudah
lengkap untuk memulai peperangan. Atas pengaruhnya yang kuat ia oleh
pengikutnya dianugrahi gelar Pangeran Jagapati.[22]
Bayu terletak di barat-laut dari kota Ulupampang di lereng timur
Gunung Raung, dekat desa Songgon, kira-kira masih 2 jam (jalan kaki) di
atas dusun Derwana. Bekas bangunan tembok yang diketemukan dekat Songgon
itu rupanya masih merupakan sisa dari Bayunya Mas Rempek tersebut.[23]
Pengikut Pangeran Jagapati dengan demikian berasal dari seluruh
wilayah Blambangan baik di ibukota (nagari) Lateng maupun di luar
ibukota (jawikuta). Dukungan yang sangat besar dari luar terutama dari
Blambangan sendiri membuat kedudukan Pangeran Jagapati sangat kuat,
sehingga mampu menguasai sember daya yang lain. Pangeran Jagapati dapat
menguasai daerah penghasil beras di seluruh Blambangan. Lurah Manowadi
berhasil menimbun beras yang dihasilkan dari seluruh Blambangan di
Tomogoro di sebelah selatan Bayu. Para pedagang yang telah memindahkan
pusat kegiatannya ke pantai selatan di Nusa Barung mengirimkan telur,
garam dan ikan kering yang diangkut memakai kuda ke Bayu.[24] Dengan
demikian penguasaan atas daerah penghasil padi di seluruh Blambangan
membuat kedudukan ekonomis Pangeran Jagapati sangat kuat. Dengan
dukungan ekonomi yang kuat maka dengan mudah akan membangun kekuatan
militer dan cadangan logistik perang. Maka berkobarnya peperangan
tinggal menunggu waktu saja.
C. Jalannya Peperangan
Pada tanggal 2 Agustus 1771, Kertawijaya dan Jaksanegara berangkat
bersama serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Kepergian
mereka bermaksud memisahkan penduduk Blambangan dari pengaruh Mas
Rempek. Setibanya di Bayu orang-orang Blambangan pengikut kedua pemimpin
itu justeru membelot dan memihak kepada Pangeran Jagapati. Kedua
pemimpin ditinggal pengikutnya dan hanya ditemani beberapa orang yang
berasal dari Surabaya, yaitu Mindoko, Bawalaksana dan Semedirono.
Kemudian para pembelot mengamuk terhadap para Tumenggung dan pengikutnya
yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka tembak di bahu kirinya
dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati tertembak di
kepalanya, yang lainnya terluka. Sementara rakyat Blambangan terus
bergerak ke Bayu sambil membawa harta benda yang mereka miliki.[25]
Peristiwa di atas diceritakan dalam Babad Bayu pupuh ii 5-20 sebagai berikut:
Ketika pasukan Kertawijaya dan Jaksanagara tiba di Bayu, Pangeran
Jagapati bersama 30 orang pengikutnya menempatkan diri di sebelah
menyebelah bagian jalan yang sempit. Jayaleksana memberikan aba-aba
menembak, tapi ia dan pasukannya segera terkurung. Meskipun begitu, ia
masih juga menuntut supaya Pangeran Jagapati takluk. Kalau mau takluk,
orang Bayu akan diampuni dan selamat, mereka tak usah bekerja untuk
Kompeni dan akan menerima hadiah sarung pedang dari baja dua warna, dan
akan disambut dengan segala penghormatan apabila datang berseba.
Tiba-tiba pasukan Jayalaksana kabur masuk hutan, maka para punggawa
sendirilah yang harus mengangkut pulang jenazah patih. Gegerlah seluruh
kota.[26]
Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata menuju ke
benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal,
terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada
Pangeran Jagapati. Biesheuvel Residen Blambangan beserta pasukan VOC
bergerak menyerang Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran
Jagapati karena pertahanan benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada
waktu yang bersamaan, Schophoff, Wakil Residen Biuscheuvel masuk ke
berbagai desa di Blambangan, bermaksud mempengaruhi penduduk untuk tidak
memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang sama pasukan VOC menyerang
Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat subur yang menjadi
salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya agar
Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan.
Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka
diserang oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan
kata-kata: “Amok! Amok!”. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang
terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras
yang paling dekat dengan Bayu dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat
penting bagi Pangeran Jagapati. Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat
menimbun semua persediaan yang diperlukan sebelum diangkut ke Bayu.[27]
Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu
pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat
Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta
membawa semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati.
Sementara di sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin,
Pangeran Jagapati memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar
menutup jalan sehingga tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah
kelelahan dalam menempuh perjalanan yang sulit dan kehabisan perbekalan
terpaksa mengehentikan penyerangan dan mundur ke Ulupampang.[28]
Keadaan yang mengkhawatirkan memaksa Biesheuvel minta dikirim 300
pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa
berkekuatan 40 prajurit.
Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang pasukan-pasukan
Kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke Ulupampang.
Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi
pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang
diserahkan kepada Keboundha, sayap kanan dipercayakan kepada
Kidangsalendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan
yang telah dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).[29]
Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB, Biesheuvel
Residen Blambangan menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa berita
dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa
pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam
medan perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi
pasukan VOC itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua
yang ada. Pasukan VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar
pejuang Bayu dengan pasukan pribumi di depan, sehingga keselamatan
pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun ternyata dukungan orang-orang
prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC menambah pasukan Eropa
untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan pribumi VOC
mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di sebelah
kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan.
Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan
menghilang. Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam
pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan
begitu pasukan VOC ditinggal begitu saja oleh pasukan pribumi. Akibat
larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC asal Eropa saja yang terlibat
perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai semua peluru, termasuk
persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti penyimpanannya untuk
dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya telah terpakai
habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka.
Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani
tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat
persembunyiannya. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya
termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir. Tukang
pikul perbekalan semua mati.[30]
Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan berapa sisa
pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13
orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka
tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya
87 orang luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan
dengan mengangkut beras. [31]
Biesheuvel mengirim surat pada atasannya di Surabaya tertanggal
Ulupangpang, 22 September 1771 guna memohon bantuan militer sebanyak
1000 laskar Sumenep dengan 150 serdadu Belanda. Juga diminta sepuluh
peti peluru karena empat peti sebelumnya telah habis dalam penyerangan
yang gagal. Pasukan ekspedisi bantuan itu direncanakan untuk merusak
segala jenis makanan di daerah Bayu. Karena tidak ada cara lain bagi VOC
selain mengadakan aksi yang membuat orang Bayu kelaparan dan
kekurangan.[32]
Babad Bayu menceritakan peristiwa di atas sebagai berikut:
Berkecamuklah perang. Tanda pertempuran dibunyikan dengan tambur,
beri, kendang dan gong. Jayasengara, adipati Bangil maju berkuda,
diikuti yang lain. Pasukan Kompeni membentuk segi empat. Bunyi bedil,
meriam dan tiktak (meriam kecil) mereka memekakkan telinga. Udara gelap
karena asapnya. Jayasengara berpendapat, mustahil orang Bayu menang.
Jayasengara kena peluru meskipun kebal dan berlindung di belakang sebuah
pohon. Ia melihat Kompeni kehilangan banyak prajurit, ada yang luka
banyak yang mati. Dan hilanglah harapannya untuk menang. Di pihak
Belanda hanya kumendanlah yang masih hidup. Orang Surabaya, apalabi
orang Bangil, mendapat kekalahan dan lari tunggang-langgang, disoraki
orang Bayu. Komandan Kompeni terluka perutnya oleh peluru Keboundha.
Kudanya dicambuknya sehingga lari terus sampai Ulupampang. Patih
Jatasengara yang paling akhir pulang meninggalkan medan perang,
menyusuri kali. Orang Bayu yang mabuk kejayaan mengejar musuh di
jalan-jalan sampai Gegenting, bahkan sampai Cendhana. Maka orang Bayu
pulang sambil menembang atau meniru suara gamelan dan menandak.[33]
Ketika bala bantuan datang untuk VOC, bersamaan dengan itu Pangeran
Jagapati mendapatkan bantuan 300 orang dari Bali lengkap dengan senjata
dan bahan makanan, dan berhasil mengepung benteng VOC di Kuta Lateng.
Jalan-jalan ke Panarukan oleh para pejuang Bayu dijaga dengan ketat dan
diberi penghalang-penghalang dari kayu gelondongan, jembatan-jembatan
dirusak untuk mempersulit tranportasi pasukan dan perbekalan VOC.
Penyerbuan Pangeran Jagapati ke Lateng ini mampu menangkap dan menawan
banyak serdadu VOC dan merebut sepeti misiu dan 1200 peluru serta
senjata.[34]
VOC mengerahkan seluruh kekuatannya dengan mendatangkan bantuan
tentara dari garnisum-garnisum Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya
dan Pasuruhan dengan pasukan “Dragonders” dari Semarang sebagai pasukan
inti.[35]
Karena kekalahan yang ditimbulkan oleh Pangeran Jagapati dan para
pejuang Bayu itu maka memaksa Gubernur vander Burgh mengirim surat ke
Pieter Luzac, agar penduduk Senthong (dekat Bondowoso) dicegah
berhubungan dengan penduduk Blambangan dan Lumajang. Juga agar dilakukan
penelitian sebab-sebab kekalahan serdadu VOC.[36]
Biesheuvel pada bulan November 1771 meninggal ia digantikan oleh
wakilnya, Hendrik Schophoff. Pada bulan itu, bantuan tentara VOC tiba di
Ulupampang di bawah komando Kapten Reygers dan Heinrich. Pasukan VOC
berhasil mengalahkan para pejuang Blambangan di Kuta Lateng. Sedangkan
kapten Reygers berhasil menghancurkan gudang persediaan makan di Banjar
(Kecamatan Glagah), menguasai Grajagan di Pantai Selatan dan membakar
sekitar 300 koyan beras (1 koyan sekitar 185 kg = 55,5 ton). Pada waktu
yang bersamaan VOC mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk
yang mau meninggalkan Bayu.[37]
Kapten Reygers setelah berhasil mendesak para pejuang Blambangan di
Kuta Lateng, pada tanggal 13 Desember 1771 beserta pasukannya berangkat
menyerang benteng Bayu. Pengalaman pahit VOC menyerang Bayu dari arah
selatan, memaksa VOC menyerang Bayu dari arah utara, yaitu Songgon.
Keesokan harinya 14 Desember 1771 Reygers memerintahkan penyerangan
dengan kekuatan 2000 laskar Madura di bawah pimpinan Alapalap, sebagai
laskar terdepan. Di belakangnya dilapisi oleh serdadu Eropa yang
dilengkapi dengan meriam yang dipimpin oleh Sersan Mayor van Schaar.
Barisan belakang menggempur Bayu sebelum Alapalap bergerak maju.
Mendengar penyerbuan VOC dari arah utara, dengan gerak cepat Pangeran
Jagapati memimpin sendiri penyerangan ke Songgon pada tanggal 15
Desember 1771, bersama 1000 orang jagabela yang bersenjatakan keris,
pedang dan tombak. Kekuatan jagabela yang di Bayu dikerahkan menyerang
Songgon.[38]
Taktik perang pejuang Bayu yang terencana matang dan menguasai medan,
menyebabkan pasukan VOC yang menyerang dari dua arah, yakni Susukan dan
Songgon, telah terjebak dan disergap oleh pasukan Bayu dan dihancurkan
sama sekali. Kapten Reygers terluka parah di kepalanya dan kemudian ia
meninggal di Ulupampang. Puncak penyerangan para pejuang Blambangan
terjadi pada tanggal 18 Desember 1771. Dalam peristiwa itu para pejuang
Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC.
Belanda sendiri menyatakannya sebagai “de dramatische vernietiging van
Compagniesleger”. Prajurit Blambangan di bawah pimpinan Pangeran
Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris,
pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari
tentara VOC. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC
terdesak. Demikian juga pasukan Eropa VOC yang berada di belakang.
Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan
semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC. Saat
itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan
sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh
pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas. Sersan
Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan
serdadu Eropa lainnya yang tewas dalam perang itu. Dari serdadu yang
tersisa yang sempat melarikan diri, jumlahnya tidak seberapa, umumnya
dalam keadaan terluka dan sakit. Namun demikian, di pihak Blambangan
harus membayar mahal dengan kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati
gugur karena luka-lukanya sehari berikutnya yakni tanggal 19 Desember
1771. Sebagai ungkapan balas dendam atas gugurnya Pangeran Jagapati,
beberapa jagabela mencincang mayat van Schaar.[39]
Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21, sebagai berikut:
Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura. Keduanya
tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap
memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari
jenis biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap
roboh tetapi masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung
ke perkemahan, lalu meninggal. Jagapati yang luka parah dibawa ke
benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati masih mampu mengatur
strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai
wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya pertempuran
dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan
berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit
Bayu mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal. Babad Tawang
Alun xii.1-2 melanjutkan: Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan
sangat marah karena kematian Alap-alap. Pasukan Madura dan Kompeni
bertempur lagi dan kehilangan 2.000 orang sebagai akibat amukan orang
Bayu.[40]
Pada tanggal 20 Desember 1771 pasukan VOC turun kembali ke Kuta Lateng.
Orang Eropa yang masih tersisa juga ikut turun, diantaranya Sersan Mayor
Ostrousky yang terluka berat. Sebagian terbesar dari mereka sudah tidak
bersenjata lagi. Mereka dalam keadaan sangat lelah, letih. Mereka
berjalan berkelompok-kelompok kembali ke Kuta Lateng. Mereka menumpahkan
kesalahan atas kekalahannya pada diri Sersan Mayor van Schaar yang
bersikap pengecut. Ia dipersalahkan karena setalah menembak pejuang Bayu
sekali saja, terus melemparkan senjatanya dan melarikan diri pertama
kali. Kerugian di pihak VOC prajurit yang gugur dan hilang adalah :
Sersan Mayor van Schaar, Peltu kornet Tinne, 41 prajurit Infanteri, 15
prajurit korps khusus Dragonders, para bintara dan tamtama, 1 prajurit
arteleri dan sejumlah besar laskar pribumi. [41]
JR Vander Burgh, gubernur VOC urusan pantai timur Jawa pada 13
Januari 1772 di Semarang mengirim laporan pada atasannya, bahwa setelah
penyerangan ke Bayu mengalami kekalahan pada 20 Desember 1771, maka
banyak anggota pasukan pribumi yang melarikan diri. Bahkan pada 31
Desember 1771 terdapat 300 laskar Madura secara bersama melewati
Panarukan kembali ke daerah mereka di Sumenep Madura.[42]
Babad Bayu xvi 1-13 menceritakan:
Bambang Sutama dan Jayareca membawa pasukannya ke Panarukan lewat
Watu Dodol, Bajulmati dan Banyuputih. Mereka terpaksa mengaku kepada
komandan VOC di Panarukan bahwa Bayu belum jatuh, karena orang Bayu
terlalu kuat. Dan bahwa Guntur Geni mati, begitu juga semua orang
Belanda. Komandan itu hampir tidak percaya. Rupanya, siapapun yang
menaklukkan Bayu tidak akan kembali hidup. Bambang Sutama dan Jayareca
minta diri pada komandan VOC, pertama pulang ke Sumenep. Di sini
penduduknya keheranan melihat mereka kembali dalam keadaan selamat.
Bupati Semenep ingin tahu mengapa dia dan Sutadipa masih hidup. Kedua
orang itu menundukkan kepala rendah-rendah, malu takut dapat murka tuan
mereka. Adapun Bambang Sutama pergi ke Surabaya untuk menyerahkan surat
CVD Biesheuvel, penguasa di Ulu Pampang pada penguasa di Surabaya,
Pieter van Luzac. Selanjutnya pulang ke Madura atas izin penguasa VOC
itu.[43]
Kekuatan pasukan VOC telah berkurang, membuat VOC menghentikan
peperangan. Kemudian para penguasa VOC mengambil sikap berhati-hati dan
mendorong pasukannya untuk menggunakan cara-cara lain untuk menangkis
serangan yang mendadak demi menyelamatkan bengsanya. Karena itu selama
musim hujan, sebagian terbesar pasukan VOC bersikap defensif saja.
Pasukan Eropa ditempatkan pada pertahanan di Ulupampang dan Kuta Lateng
saja, yang dipandang tempatnya paling sehat.
Sementara itu laskar Madura, Sumenep dan Pamekasan bersama 2 kompi
orang pribumi lainnya, pembentukan dan persiapannya sedang diproses.
Tatkala itu 118 orang sedang dalam perjalanan ke Blambangan. Mereka
ditempatkan di Ulupampang, Kuta Lateng, dan ditempatkan diberbagai
benteng yang ada, dan dijalur-jalur jalan ke arah Bayu. Tujuannya adalah
untuk menghalangi dan menghentikan penyaluran bahan makanan ke pusat
pertahanan Bayu. Segala jenis bahan makanan yang sekiranya dapat
digunakan oleh para pejuang Bayu, agar segera dimusnahkan. VOC
memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mencoba menghalangi-halangi
rencananya.[44]
Dengan kemenangan yang dicapai oleh para pejuang Bayu, penguasa VOC
mengatur kembali strateginya. Karena itu, maka penguasa VOC telah
memperbaharui rekomendasi kedudukannya di darat. Diadakannya patroli di
laut dan di sepanjang pantai Blambangan, khususnya disekitar Meneng dan
Grajagan untuk menghalangi hubungan Pejuang Bayu dengan oarang Bali.
Kemudian VOC mengadakan patroli dengan ketat terhadap segala jenis kapal
dan perahu melewati Selat Bali.[45]
Akibat perang selama bulan Desember VOC banyak kehilangan sejumlah
pejabat dan perwira militer yang tewas. Karena banyak kehilangan perwira
dan prajurit, VOC menjadi depensif dan menarik semua pasukannya ke Kuta
Lateng dan Ulupampang. VOC yang mengalami kekalahan besar membutuhkan
waktu setahun untuk memulihkan kekuatannya. Dengan kenyataan benteng
Bayu yang sangat kuat, VOC harus mempersiapkan pasukan yang lebih besar
untuk mengalahkan laskar Blambangan. Untuk keperluan itu VOC mengadakan
panggilan umum kepada semua bupati dan penguasa taklukan Belanda untuk
mendatangkan bala bantuan. Semua tentara Eropa dari semua garnisum
dikonsinyasikan di Blambangan. Kemudian 2000 pasukan Madura segera
dikirim ke Jawa. Pada bulan Agustus 1772 Heinrich tiba di Blambangan
dengan 5.000 prajurit. Heinrich menjadi komandan dan dibantu residen
Schophoff dari Ulupampang. Sedangkan Van der Burgh, Gubernur Jawa Bagian
Timur, secara pribadi datang sendiri ke Blambangan.[46]
Pada 1 Oktober 1772, setelah hampir satu tahun gagal menyerang Bayu,
VOC mengadakan penyerangan lagi ke Bayu. Songgon yang tidak diduduki
sisa pengikut Pangeran Jagapati kembali dijadikan benteng pertahanan
untuk menyerang Bayu. Kapten Heinrich beserta pasukan Expedisi V
bergerak dari kota Ulupampang. Pada 5 Oktober 1772, pagi hari pasukan
VOC itu telah berkemah di Sontong. Untuk menghindari sungga Kapten
Heinrich memerintahkan bawahannya membuat jalan dengan cara menumbangkan
pepohanan hutan. Kemudian pada Peltu Mirop dan Peltu Dijkman
ditempatkan satu pasukan sebanyak 900 orang untuk menguasai daerah
ketinggian sebelah kanan dari benteng Bayu, dengan dipersenjatai meriam.
Sedang Vaandrig Guttenburger dan Koegel, ditempatkan di Sontong.
Kemudian Kapten Heinrich dengan 1.500 orang berikut Vaandrig Ienigen di
Sentum berjaga-jaga di posisi antara ketinggian yang saling dapat
berhubungan melalui satu jurang yang menganga di antaranya. Benteng Bayu
terkepung secara ketat.
Dari tanggal 5 sampai 11 Oktober 1772 itu Kapten Heinrich mengadakan
konsolidasi dengan elemen-elemen militer lainnya. Pada tanggal 10
Oktober 1772, Letnan Imdeken meyakinkan Kapten Heinrich bahwa Kapten
Heinrich dapat menerobos, sehingga Kapten itu mengadakan perundingan.
Kapten Heinrich memutuskan untuk mulai melakukan penerobosan.
Pada 11 Oktober 1772 pagi hari, VOC mengerahkan semua kekuatannya
menggempur Bayu dengan tembakan-tembakan meriam. Tetapi selama dua bulan
Bapa Endha dapat bertahan bersama 1000 orang pengikutnya yang setia.
Pengiriman perbekalan di pihak VOC cukup lancar karena jalan dari
Ulupampang menuju Songgon bebas dari halangan pejuang Bayu. Sekitar
bulan Desember 1772 Bapa Endha dan pejuang Bayu mengalami kekurangan
perbekalan karena bahan makanan yang ada ternyata tak mampu mencukupi
kebutuhan semua laskar yang ditarik dan dipusatkan ke Bayu. Bayu sudah
sulit dipertahankan lagi. Namun mereka masih mengadakan perlawanan
sekuatnya. Vaandrig Mierop sesuai dengan perintah komandannya, membuat
alarm tipuan pada sayap kanan dengan membuat api untuk memancing membagi
kekuatan musuh supaya tepat didepan dan di sayap kiri Kapten Heinrich.
Kemudian Kapten Heinrich dengan kekuatan intinya 1.500 pasukannya
menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri tepat pukul 08.00.
Benteng Bayu yang amat kuat akhirnya dapat direbut pasukan VOC. Setelah
benteng Bayu dapat direbut VOC merusak dan membakarnya.
Pasukan Kapten Heinrich mendapat rampasan beberapa jenis senjata
berupa 1 meriam dan 3 mortir ukuran 4 dim milik pejuang Bayu. Para
prajurit pribumi VOC mendapat rampasan 100 pucuk senjata berlaras
panjang dan 200 kuda serta masih banyak lainnya dari dalam benteng Bayu.
Para pejuang Bayu telah meloloskan diri ke daerah pegunungan. Kapten
Heinrich telah memerintahkan mengejar mereka sampai malam hari. Semua
milik para pejuang Bayu agar diambil. Pada pagi hari keesokannya juga
dilakukan pengejaran dengan patroli yang kuat. Ternyata memerlukan
perjalanan sehari penuh ke pegunungan.
Kapten Heinrich menyuruh bawahannya untuk membunuh para tawanan pria
dan memotong kepalanya. kemudian kepala mereka yang terpotong digantung
di pepohanan yang tinggi untuk membuat pejuang Bayu lainnya takut.
Pengejaran terhadap musuh masih terus dilakukan bagi pejuang Bayu
lainnya. Atas perintah dari Residen Schophoff, VOC di Bayu turun tanggal
24 Oktober 1772.[47]
Babad Bayu menceritakan penyerbuan ini sebagai berikut:
Panembahan Madura sanggup memenuhi permintaan VOC Surabaya sebanyak
10.000 orang Madura. Laskar ini dipimpin oleh Suradiwira. Pasukan Madura
barat ini berlayar dan berlabuh di Panarukan disambut oleh pasukan VOC.
Madura timur di Sumenep telah menyiapkan 3.000 orang laskarnya yang
dipimpin langsung oleh Pulangjiwa. Mereka ini berangkat dari pantai
Pamaringan menuju Purwasari di Pantai Jawa. Semuanya bertemu di
Panarukan. Esok harinya barisan maju seperti badai. Bermalam di
Bajulmati, malam berikutnya sampailah mereka di kota Ulupampang.
memerintahkan pasukannya untuk membuat benteng bergerak dan setiap
mantri diberi tunggul bambu sebagai pertahanan. Orang Madura mulai
menembak lagi, namun pelurunya jauh dari sasaran. Laskar Bayu
membalasnya, setiap pelurunya menewaskan orang Madura yang disasar.
Suradiwira marahnya tak alang-kepalang. Laskarnya diperintahkan supaya
menyerang namun terhalang sungga dan suda. Pulangjiwa dipukul mundur.
Pulangjiwa dan VOC telah menyelesaikan pertahanan mereka. Satu untuk
setiap mantri, dan satu benteng bergerak untuk pasukan. Suara gong,
gendhang, tambur, dan biring bergema di langit ditambah sorak sorai
laskar Madura. Pasukan VOC maju dibelakang pertahanan mereka yang anti
tembus peluru. Medan perang dekat benteng Bayu sudah bersih dari sungga
dan suda, sehingga VOC dapat membawa meriam-meriam mendekati benteng
Bayu. Dengan dilindungi tembakan meriam, laskar Sumenep dan VOC berhasil
memasuki beteng Bayu. Atas perintah VOC, rumah-rumah Bayu dibakar
habis. Benteng Bayu diratakan dengan tanah..[48]
Sedangkan Babad Tawang Alun memberikan gambaran peristiwa ini sebagai berikut:
Pangeran Sumenep sangat marah mendengar kematian Tumenggung
(Alap-alap)nya dalam perang Bayu pertama. Demikian pula Panembahan
Bangkalan juga sangat marah. Karena itu, beliau segera mengerahkan
balatentaranya. Baik VOC maupun Madura maju perang ke Bayu. Kedua pihak
saling menombak dan saling menembak. Mengamuklah para pejuang Bayu,
sehingga balatentara VOC banyak yang mati. Kemudian datang lagi 2.000
bala bantuan musuh. Pejuang Bayu kalah dalam perang. Banyak pejuangnya
yang gugur. Lamanya perang Bayu itu selama 2 tahun. Maka takluklah Bayu.
Banyak rakyat kecil yang mati, yang tersisa menyelamatkan diri,
mengungsi kehutan belantara atau ke dalam jurang di hutan pegunungan,
sedang yang tertangkap, segera diangkut. Banyak yang diangkut ke daerah
Ulupampang. Selanjutnya dibawa ke barat, terutama para tokohnya dibuang
ke Selong.[49]
Pemimpin Blambangan banyak yang menyingkir ke Nusa Barung. Schophoff
menyuruh mengirimkan 264 orang Blambangan ke Surabaya baik pria, wanita
dan anak-anak. Sampai tanggal 7 Nopember 1772 sudah 2.505 orang pria dan
wanita yang tertangkap. Schophoff memerintahkan untuk menenggelamkan
tahanan laki-laki yang dituduh telah memakan daging mayat van Schaar.
Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai
hasil rampasan perang. Sebagian dari mereka telah melarikan diri ke
dalam hutan, telah meninggal karena kelaparan dan kesengsaraan yang
mereka alami. Sehingga bau mayat-mayat yang membusuk, menggangu sampai
jarak yang jauh. Mereka yang masih hidup menetap di hutan-hutan, membuka
perladangan baru di Pucangkerep, Kaliagung, Petang dan lain-lain.
Mereka tetap bersikeras untuk melepaskan diri dari penjajahan VOC.[50]
Itulah akhir dari Perang Bayu yang mengerikan, yang telah merenggut
ribuan kurban, baik di pihak musuh, terutama dipihak rakyat Blambangan.
Perlawanan-perlawanan setelah Perang Bayu
Perang Bayu memang berakhir pada tanggal 11 Oktober 1772, namun
perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan lokal masih
terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai sepuluh tahun kemudian.
Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain: Pemberontakan yang terjadi
di Gendoh yang dipimpin oleh Hanggapati. Pemberontakan yang dipimpin
oleh Ki Mus Aceh. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Singo pada
tahun 1781 dan sisa-sisa laskar Bayu yang hidupnya masih
berpindah-pindah. Pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Sekar pada tahun
1797 yang bermaskud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan.
Untuk menghadapi pemberontakan ini Belanda harus mendatangkan lagi
bantuan beberapa kompi tentaranya dari Surabaya dan Semarang.
Pemberontakan ini gagal, Mas Sekar tertangkap dan para pengikutnya
banyak yang disiksa dan dibuang ke Semarang. Pemberontakan yang dipimpin
oleh Berengos Perada pada tahun 1800, yang berpusat di Rajekwesi.[51]
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Perang Bayu sangat kuat terhadap
patriotisme rakyat Blambangan dalam jangka waktu yang lama. Pangeran
Jagapati sudah meninggal, namun rakyat Blambangan terus melanjutkan
perjuangan.
D. Akibat-Akibat Perang Bayu
Dari uraian di atas, ternyata bahwa perang Bayu adalah perang semesta
rakyat. Perang yang berawal dari dukuh kecil yang menggemparkan
Belanda. C. Lekkerkerker mengatakan: perang Bayu merupakan perang yang
membutuhkan lebih banyak ketegangan dan jumlah jiwa manusia dibanding
perang-perang lainnya yang telah pernah dilakukan oleh Kompeni.
Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan
bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi
jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga.[52]
Akibat perang yang menelan korban sekitar 60 ribu orang, penduduk
Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.[53] Hampir habisnya
penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja
dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong.
Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan
ketika perang.[54] Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar
Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk.
Akibat perang, VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira
militernya. Mereka itu adalah Residen Cornelis van Biesheuvel, Sersan
Mayor van Schaar, Letnan Kornet Tine, Vandrig Ostrousley, Kapten
Reygers, dan ratusan pasukan Eropa. Sebanyak 10 ribu pasukan yang
didatangkan oleh VOC dari berbagai daerah untuk menggempur Blambangan
banyak yang tewas.[55]
VOC juga mengeluarkan kebijakan untuk menarik simpati agar
orang-orang yang kembali ke Blambangan diberikan hadiah 2,5 rijksdalder (
sekitar 6 gulden). Pada tahun 1773 sebanyak 12 keluarga berhasil
diboyong dari Surabaya ke Banyuwangi, sedangkan sebelumnya sebanyak 285
orang telah menetap di Blambangan karena motif untuk mendapatkan hadiah
uang. VOC juga membebaskan penarikan pajak selama 15 tahun. Baru pada
tahun 1786, VOC bisa menerima 9600 pikul beras, persewaan tempat-tempat
sarang burung walet, ikan, teripang, serta kulit mutiara.[56]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Neil J. Smelser, Theory of Colective Behavior, Routledge&Keagan Paul, London, 1962, hal. 163.
[2] J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over
Java-XI, ML van Deventer, 1883, hal. 1. C. C. Lekkerkerker, Balambangan,
Indische Gids II, 1932, hal.1045.
[3] I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001, hal. 61-63.
[4] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. v-vi. I Made Sudjana, op.cit., hal. 63.
[5] I Made Sudjana, ibid., hal. 63-65. C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1048-1052.
[6] C. Lekkerkerker, ibid., hal. 1053-1054.
[7] JKJ de Jonge, op.cit., hal. 17. C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1054.
[8] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 140. C. Lekkerkerker, op.cit., hal 1055.
[9] C. Lekkerkerker, Ibid, hal. 1054.
[10] I made Sudjana, op.cit., hal. 67.
[11] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1055.
[12] I Made Sudjana, op.cit., hal 68.
[13] Babad Tawang Alun (ditulis pada tahun 1826) dalam Winarsih PA,
Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995, hal. 113, lihat juga
Lampiran I. Tempat kediaman (Dalem) Mas Bagus Puri menurut dokumen
Belanda terletak di sekitar dusun Pakis, yaitu dusun di selatan
Banyuwangi sekarang. I Made Sudjana, op.cit., hal.42. Dengan demikian
Pakis Banyuwangi adalah tempat kelahiran Mas Rempek.
[14] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1056.
[15] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 200.
[16] I Made Sudjana, op.cit., hal. 68.
[17] Babad Tawang Alun, ix-2-4 dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 89.
[18] I Made Sudjana, op.cit., hal. 68-69.
[19] I Made Sujana, Ibid, hal. 69, berdasarkan laporan J.C.
Wikkerman, Originele aparte missive van den Gouverneur van den Burg..,
ARA, VOC 3337, hal. 3.
[20] Ibid, hal. 69.
[21] Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu
pupuh vi 11-20 sebagai berikut: Desa Dhadhap (Kidang Wulung),
Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), Songgon (Ki Sapi
Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), Derwana (Ki
Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan),
Bareng (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), Lemahbang (Ki
Suranata), Gitik (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), Labancina (Ki
Rujak Sinte), Kabat (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), Welaran (
Ki Jeladri), Tambong (Ki Reksa), Bayalangun (Ki Sukanandi), Desa
Penataban (Ki Singadulan), Majarata (Ki Maesandanu), Cungking (Ki
Jangkrik Suthil), Jelun (Ki Lembu Singa), Banjar (Ki Bakul). Itulah
nama-nama desa di Banglor. Sedang desa bagian selatan adalah: Desa
Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri),
Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha
Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki
Gajah Anguli), Benculuk (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik),
Keradenan (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki
Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa
(Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki
Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan),
Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), Singalatrin (Ki
Banyak Ngeremi).
Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa
Konsul (Ki Maesasura). Kemudian kepala desa ayang menyusul: Desa Bubuk
(Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki
Jangkrik-Gondhul), Gambor (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean),
Muncar (Ki Genok), Bama (Ki Baluran), Geladhag (Ki Margorupit), Susuhan (
Ki Tambakboyo), Ngalian (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah
Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), Kalisuca (Ki Jaransari). Babad Bayu
(ditulis pada tahun 1826) pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit.,
hal.153-154.
[22] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 228. Winarsih PA, Ibid, hal. 89,
Babad Tawang Alun pupuh ix 2-4. Menurut I Made Sudjana, Mas Rempek
memakai gelar Kyai Mas Rempek (dalam Babad Tawang Alun; Ki Mas Rempek)
menunjukkan bahwa Pangeran Jagapati telah mendalami agama Islam,
sehingga hampir sama dengan status gurunya, Kyai Rupo (Ajar Rapa). I
Made Sudjana, op.cit., hal. 68-69.
[23]Inventaris Hindoe oudheden III, 1923:123 nomer 2547 dalam C. Leckerkerker, op.cit., hal.1056.
[24] I Made Sudjana, op.cit., hal. 70, berdasar dokumen Belanda
“Eebidige voordracht…” ARA, VOC 3389 hal. 239-242; “Memorie totnaricht…”
ARA, VOC 3589 hal. 1040.
[25] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 175, Surat CVD Biesheuvel
(Residen) dan Hendrik Schophoff (Wakil Residen) Blambangan kepada Yang
Mulia Penguasa di Surabaya tertanggal Ulupampang, 4 Agustus 1771.
[26] Babad Bayu dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 227.
[27] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal .176. Baca juga I Made Sudjana,
op.cit., hal. 78, berdasar dokumen Belanda ARA, VOC 3337 hal. 263-266;
“Copie verklaring van Balem-boangsche……”
[28] I Made Sudjana, Ibid, hal. 78, berdasar dokumen Belanda “Originele aparte missive….”
[29] Babad Bayu pupuh v.23-28, dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 231.
[30] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 177, Surat CVD Biesheuvel
(Residen) dan Hendrik Schophoff (Wakil Residen) Blambangan dan kepada
Yang Mulia Penguasa di Surabaya tertanggal Ulupampang, 22 September
1771.
[31] Ibid.
[32] Ibid
[33] Babad Bayu pupuh v-vi.8, dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 231-232.
[34] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 216.
[35] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1058.
[36] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 178. Winarsih PA, op.cit., hal. 231-232.
[37] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal.. 223.
[38] I Made Sudjana, op.cit., hal. 79.
[39] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 27 dan 224. C. Lekkerkerker,
Balambangan, op.cit., hal. 1058-1059. I Made Sudjana, Ibid, hal 79,
berdasarkan laporan J.C. van Wikkerman, “Copie resolutie…”, ARA, VOC
3416, hal. 150. Hasan Ali menyebut peristiwa ini dengan istilah perang
puputan, lihat Sekilas Perang Puputan Bayu, Pemda TK II Kabupaten
Banyuwangi, 1997.
[40] Winarsih PA, op.cit., hal. 93-95.
[41] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 224.
[42] Ibid, hal. 225.
[43] Babad Bayu dalam Winarsih PA, op.cit.., hal. 239.
[44] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal.. 224-225.
[45] J.K.J. de Jonge, Ibid., hal.. 226..
[46] J.K.J. de Jonge, Ibid, hal. 227 dan hal. 26. C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1059.
[47] J.K.J. de Jonge, Ibid., hal 228-230, Berdasarkan surat laporan
Kapten Heinrich, komandan pasukan VOC di Kuta Lateng kepada pada Pieter
luzac penguasa VOC di Surabaya, tertanggal Bayu, 12 Oktober 1772 yang
dikirimkan dari markas utama Kompeni di Bayu.
[48] Babad Bayu pupuh xvii-xxiii, dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 240-243.
[49] Babad Tawang Alun pupuh xii. 1-4, dalam Winarsih PA, ibid, hal. 114-115.
[50] C. Lekkerkerker, op.cit., hal.1060.
[51] C. Lekkerkerker, Ibid., hal. 1062.
[52] C. Lekkerkerker, ibid., hal. 1064.
[53] F. Epp, Banjoewangi, TNI I/ii/1849, hal. 242-261.
[54] I Made Sudjana, op.cit., hal. 87.
[55] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1059.
[56] I Made Sudjana, op.cit., hal. 87.